Ada satu momen yang selalu teringat ketika aku menutup mata dan membayangkan Puncak Jaya. Bukan cuma puncak bersalju di kejauhan, tetapi desa desa kecil yang menempel di lereng, dilingkari kabut, dan dihangatkan oleh api yang menyala di dalam honai. Di sinilah rasa “wisata desa” punya makna berbeda. Bukan sekadar spot foto, tetapi ruang hidup yang pelan pelan membuka diri pada tamu yang datang dengan niat baik.
Sebagai travel vlogger yang biasa bermain di laut dan pantai, perjalanan ke desa desa di Puncak Jaya rasanya seperti pindah ke bab baru. Udara tipis, napas yang sedikit lebih berat, dan rasa hening yang tidak bisa kamu temukan di kota. Yang terdengar hanya suara anak kecil berlari, ayam yang berkotek di halaman, dan angin yang menyusup di sela pepohonan.
“Di desa desa Puncak Jaya, aku merasa sedang belajar hal sederhana yang sering dilupakan. Bahwa hidup bisa sesederhana menyalakan api, mengurus kebun, dan saling menyapa tetangga setiap pagi.”
Perjalanan Menuju Desa di Atas Awan
Untuk mencapai desa desa wisata di kawasan Puncak Jaya, perjalananmu tidak akan seperti jalan tol lurus tanpa kejutan. Justru di sinilah cerita dimulai. Pesawat kecil, jalan berkelok, dan cuaca yang kadang berubah cepat menjadi bagian dari paket komplet.
Rute dan Perjalanan dari Kota
Biasanya, perjalanan dimulai dari kota besar di Papua lalu dilanjutkan dengan pesawat kecil ke bandara terdekat di kawasan pegunungan. Dari sana, perjalanan berlanjut dengan mobil dobel gardan atau truk yang sudah akrab dengan jalur tanah dan batu.
Jalan yang kamu lewati tidak selalu mulus, tetapi pemandangannya sering kali menebus rasa lelah. Tebing yang menjulang, lembah yang dalam, sungai yang mengalir di bawah, dan awan yang seolah bisa kamu sentuh dari jendela.
Pertemuan Pertama dengan Udara Dingin Pegunungan
Begitu kendaraan berhenti di desa tujuan dan pintu dibuka, udara dingin langsung menyapa. Bukan dingin tiga detik lalu hilang, tetapi dingin yang menggigit pelan dan mengingatkan bahwa kamu benar benar sedang berada di ketinggian.
Di kejauhan, kamu bisa melihat rumah rumah sederhana dengan atap seng atau rumput, honai tradisional yang bulat, dan asap tipis yang keluar dari celah atap. Anak anak melongok dari balik pintu, sebagian malu malu, sebagian langsung tersenyum lebar.

Wajah Desa di Pegunungan Puncak Jaya
Desa desa di kawasan Puncak Jaya punya ritmenya sendiri. Tidak ada suara klakson atau musik keras dari kafe. Yang ada adalah suara langkah di tanah, bunyi kapak yang memotong kayu, dan obrolan pelan di depan rumah.
Honai, Kebun, dan Kabut Pagi
Honai, rumah tradisional berbentuk bulat dengan atap dari rumput atau ilalang, menjadi pemandangan yang bikin hati hangat. Di pagi hari, ketika kabut turun rendah, honai terlihat seperti gundukan kecil yang muncul dari laut putih.
Di sekitar desa, kebun kebun kecil menyebar. Ubi, sayur, dan tanaman lain yang menjadi sumber makanan keluarga di tanam dan dirawat sendiri. Bagi warga, kebun bukan hanya tempat bekerja, tetapi juga tempat berbagi cerita sambil mencabut gulma atau memeriksa daun.
Kabut pagi sering datang tanpa permisi. Dalam hitungan menit, jarak pandang bisa turun drastis. Tapi justru di saat seperti ini, suasana terasa paling magis. Langkah pelan di jalan tanah, suara tawa dari arah honai, dan dingin yang membuatmu makin menghargai hangatnya api.
Irama Kehidupan Sehari Hari
Pagi di desa biasanya dimulai sebelum matahari benar benar naik. Api di dalam honai dinyalakan, air dipanaskan, dan aroma asap bercampur dengan aroma tanah basah.
Anak anak bersiap ke sekolah, sebagian berjalan kaki menuruni atau menaiki lereng. Orang dewasa mulai bergerak ke kebun, memeriksa ternak, atau menyiapkan pekerjaan lain. Tidak ada yang terburu buru, tetapi semuanya bergerak.
Sebagai pengunjung, kamu akan merasa seperti sedang menonton film dokumenter yang hidup. Hanya saja kali ini, kamu berada di dalam frame.
“Yang paling kusuka dari pagi di desa Puncak Jaya bukan pemandangannya saja, tetapi ritme pelan yang membuatmu sadar bahwa tidak ada yang perlu tergesa gesa.”
Trekking Ringan dan Panorama Tebing
Wisata desa di Puncak Jaya tidak lengkap tanpa berjalan kaki. Trekking ringan menyusuri jalan setapak menjadi salah satu cara terbaik untuk mengenal lanskap dan kehidupan di sekitarnya.
Jalur Setapak Menuju Titik Pandang
Bersama pemandu lokal atau pemuda desa, kamu bisa diajak naik sedikit ke titik tertentu di lereng. Jalur yang dilalui mungkin berupa tanah, batu, dan akar akar pohon yang menjulur.
Sesampainya di titik pandang, pemandangan terbuka lebar. Kamu bisa melihat desa dari atas, dengan honai dan rumah rumah kecil seperti miniatur. Di kejauhan, garis gunung dan lembah yang berlapis muncul seperti lukisan bertingkat.
Di hari cerah, langit biru berpadu dengan hijau lembah dan cokelat tebing. Di hari berkabut, warna warna itu lebih lembut, tetapi kedalamannya justru terasa lebih kuat.
Menyusuri Kebun dan Lembah
Trekking tidak selalu harus naik tinggi. Menyusuri kebun di sekitar desa juga memberi pengalaman yang menarik.
Kamu bisa melihat langsung bagaimana warga menanam dan merawat tanaman, bagaimana anak anak berlari mengejar ayam, dan bagaimana anjing kampung dengan setia mengikuti langkah pemiliknya.
Di beberapa titik, ada sungai kecil yang mengalir di dasar lembah. Suara air yang memantul di bebatuan menambah satu layer suara baru di perjalananmu.
Budaya Lokal dan Keramahan Warga
Salah satu alasan terbesar untuk datang ke desa wisata di Puncak Jaya adalah bertemu dengan orang orangnya. Alam memang cantik, tetapi manusia lah yang memberi cerita.
Cerita Api Unggun dan Obrolan Malam
Di sore hari, ketika udara mulai lebih dingin dan kabut naik dari lembah, warga biasanya berkumpul di sekitar api. Di dalam honai atau di halaman rumah, api menjadi pusat gravitasi.
Sebagai tamu, kamu bisa duduk di lingkaran itu, menghangatkan tangan, dan mendengar cerita. Tentang masa kecil mereka, tentang musim tanam dan panen, tentang perayaan tradisi, atau tentang tamu tamu yang pernah datang dari kota jauh.
Kadang ada tawa, kadang ada jeda panjang ketika semua orang hanya memandang ke arah bara, membiarkan api berbicara.
Kuliner Lokal dan Kopi di Ketinggian
Makanan di desa Puncak Jaya mungkin tidak disajikan di piring besar ala restoran, tetapi rasanya sering justru lebih mengena.
Ubi rebus, sayur sederhana, dan mungkin daging yang dimasak perlahan bisa menjadi menu hangat setelah seharian berjalan. Jika kebetulan ada kopi lokal yang diseduh di panci, jangan lewatkan.
Menyeruput kopi panas di ketinggian, dengan kabut di luar dan api di depan, adalah kombinasi yang sulit dikalahkan.
“Di kota, kopi sering kuminum sambil menatap layar. Di desa Puncak Jaya, kopi kuminum sambil menatap bara. Rasanya jauh lebih dalam.”
Ide Aktivitas untuk Wisatawan Desa
Wisata desa di Puncak Jaya bukan tentang datang, foto, lalu pulang. Justru yang paling berkesan adalah aktivitas sederhana yang membuatmu ikut masuk ke ritme kehidupan desa.
Live In dan Belajar Bercocok Tanam
Jika waktumu cukup, kamu bisa mengatur program live in atau tinggal beberapa hari di rumah warga. Selama itu, kamu bisa ikut ke kebun, membantu pekerjaan ringan, atau sekadar menemani anak anak belajar.
Belajar bercocok tanam di lereng pegunungan memberi sudut pandang baru. Tanah yang miring, cuaca yang dingin, dan jarak yang jauh dari pasar membuat cara berpikir warga soal makanan dan kerja jauh berbeda dari kehidupan kota.
Workshop Kerajinan dan Musik Tradisional
Beberapa desa memiliki kerajinan khas atau tradisi musik yang masih dijaga. Jika beruntung, kamu bisa diajak belajar membuat kerajinan sederhana, seperti anyaman atau hiasan dari bahan lokal.
Musik tradisional dengan alat alat sederhana yang dimainkan di malam hari bisa menjadi penutup yang manis. Kadang nada yang dipakai tidak familiar di telinga, tetapi ritmenya cepat menyatu dengan suara angin dan api.

Estimasi Biaya Wisata Desa Puncak Jaya
Karena lokasinya jauh di pegunungan dan aksesnya cukup menantang, perjalanan ke desa desa wisata di Puncak Jaya memang perlu dipersiapkan dengan matang, termasuk dari sisi biaya. Angka pasti akan sangat bergantung pada kondisi lapangan, jenis transportasi, dan lama tinggal, tetapi gambaran kasar ini bisa membantumu menyusun rencana.
Perkiraan Biaya dari Kota Besar di Papua
Simulasi berikut dibuat dengan asumsi kamu berangkat dari salah satu kota besar di Papua, lalu terbang ke kawasan pegunungan terdekat dan melanjutkan perjalanan darat menuju desa wisata. Angka bersifat perkiraan dan bisa berubah, tetapi setidaknya memberi bayangan.
| Kebutuhan | Estimasi Biaya (Rp) | Keterangan |
|---|---|---|
| Tiket pesawat kota besar Papua ke bandara pegunungan PP | 1.800.000 hingga 3.500.000 | Bisa berbeda tergantung maskapai dan musim |
| Transport darat menuju desa (mobil dobel gardan, sharing) | 400.000 hingga 800.000 per orang | Lebih hemat jika biaya dibagi beberapa orang |
| Homestay atau menginap di rumah warga per malam | 200.000 hingga 400.000 per orang | Termasuk makan sederhana di beberapa tempat |
| Makan tambahan dan camilan | 100.000 hingga 200.000 per hari | Jika ingin beli kopi, camilan, atau lauk tambahan |
| Jasa pemandu lokal per hari | 200.000 hingga 400.000 per grup | Bisa dibagi bersama teman satu rombongan |
| Iuran kegiatan atau kontribusi desa | 50.000 hingga 150.000 per orang | Sebagai bentuk apresiasi untuk komunitas lokal |
| Dana cadangan dan keperluan lain | 200.000 hingga 300.000 | Misalnya untuk kerajinan tangan, pulsa, atau biaya tak terduga |
Jika kamu tinggal dua malam di desa, berbagi transport dengan teman, dan tidak terlalu boros dalam membeli camilan, total biaya perjalanan bisa berada di kisaran 3.500.000 hingga 5.500.000 rupiah per orang, di luar tiket pesawat dari luar Papua.
Cara Membuat Biaya Lebih Hemat dan Lebih Bermanfaat
Ada beberapa cara agar uang yang kamu keluarkan terasa lebih ringan sekaligus lebih bermanfaat.
Pertama, datanglah dalam kelompok kecil. Dengan tiga atau empat orang, biaya transport darat dan jasa pemandu bisa dibagi sehingga per orang menjadi lebih murah. Kedua, manfaatkan pola makan yang sudah disediakan tuan rumah. Selain menghemat, kamu juga ikut mendukung ekonomi keluarga yang kamu tinggali.
Terakhir, alokasikan sebagian anggaran khusus untuk kontribusi ke desa, entah dalam bentuk iuran resmi, membeli kerajinan, atau sekadar memberikan tambahan untuk bahan makanan yang digunakan selama kamu tinggal. Rasanya akan berbeda ketika kamu tahu bahwa uang yang kamu keluarkan benar benar kembali ke orang orang yang menjagamu selama di sana.
“Dalam perjalanan ke desa desa pegunungan, angka di catatan pengeluaran terasa jauh lebih hangat saat kamu tahu bahwa setiap lembar rupiah ikut menyalakan api di dalam honai, mengisi panci untuk makan malam, dan menghidupkan cerita yang kamu bawa pulang.”
Tips Praktis Berkunjung ke Desa Wisata Puncak Jaya
Karena lokasinya di pegunungan dan jauh dari fasilitas kota, ada beberapa hal penting yang perlu disiapkan sebelum datang ke desa wisata di Puncak Jaya.
Perlengkapan Penting di Ketinggian
Bawa jaket tebal, syal, dan mungkin topi yang menutup telinga. Malam hari bisa sangat dingin, terutama jika angin bertiup kencang.
Sepatu yang nyaman dan punya grip bagus sangat membantu saat berjalan di tanah licin atau berbatu. Bawa juga jas hujan ringan atau ponco, karena cuaca di pegunungan bisa berubah cepat.
Obat pribadi dan perlengkapan sederhana seperti plester, obat masuk angin, atau vitamin juga sebaiknya disiapkan. Jangan terlalu bergantung pada ketersediaan obat modern di desa.
Etika Sebagai Tamu di Kampung Adat
Sebagai tamu, kuncinya adalah menghormati.
Minta izin sebelum memotret orang, terutama orang tua dan aktivitas ritual. Jangan memaksakan kamera hanya karena kamu merasa harus mengambil gambar.
Ikuti arahan pemandu lokal atau tuan rumah. Jika diminta untuk tidak memasuki area tertentu atau diminta mengenakan kain tertentu, lakukan dengan senang hati.
Jaga pembicaraan dan sikap. Hindari komentar yang merendahkan, baik soal cara berpakaian, rumah, maupun makanan. Ingat bahwa kamu sedang melihat rumah orang lain, bukan sekadar objek wisata.
“Di desa desa seperti ini, rasa hormat jauh lebih penting daripada jumlah konten yang bisa kamu bawa pulang.”

Catatan Wisata untuk Travel Vlogger dan Konten Kreator
Jika kamu datang sebagai pembuat konten, desa desa di Puncak Jaya bisa menjadi ladang visual yang sangat kaya. Namun tetap ada beberapa hal yang perlu diingat.
Menemukan Cerita, Bukan Hanya Gambar Cantik
Gambar kabut yang menyelimuti honai, anak anak yang berlari di halaman, atau tangan yang mengupas ubi di dekat api semuanya menarik. Tetapi yang membuat kontenmu berbeda adalah cerita di baliknya.
Luangkan waktu untuk benar benar mengobrol dengan warga. Tanyakan apa arti rumah bagi mereka, bagaimana mereka memandang musim, dan apa harapan mereka.
Dari percakapan seperti ini, kamu akan menemukan sudut pandang yang lebih dalam daripada sekadar “desa yang indah”.
Mengatur Batas Antara Kamera dan Momen Pribadi
Tidak semua momen harus direkam. Ada saat ketika kamu sebaiknya menaruh kamera, duduk, dan hanya menjadi bagian dari lingkaran.
Ketika seorang ibu bercerita tentang anaknya, ketika seorang bapak menunjukkan kebun yang sudah ia rawat bertahun tahun, atau ketika seseorang menatap jauh ke lembah sambil diam, kadang yang mereka butuhkan hanya teman duduk, bukan kamera yang menyala.
Wisata Desa Puncak Jaya dalam Kenangan Perjalanan
Ketika akhirnya tiba saatnya turun kembali ke kota, meninggalkan kabut dan honai, ada rasa tertentu yang tertinggal. Bukan hanya lelah di kaki karena banyak berjalan, tetapi juga rasa rindu yang pelan pelan muncul pada keheningan desa.
Di kepalaku, Puncak Jaya bukan hanya soal ketinggian dan udara dingin. Ia adalah wajah wajah yang tersenyum ketika menyambut tamu, api yang menyala diam di tengah malam, dan anak anak yang tertawa saat melihat drone terbang untuk pertama kalinya.
“Setelah pulang dari desa desa di Puncak Jaya, aku jadi lebih sering bertanya pada diri sendiri. Apa sebenarnya yang membuat sebuah tempat layak kita sebut indah. Pemandangannya, atau cara orang orang di sana menyambut kita.”
Jika suatu hari kamu ingin mencari jenis perjalanan yang bukan hanya mengisi galeri foto, tetapi juga mengisi ruang kecil di dalam hati, wisata desa di Puncak Jaya bisa menjadi jawaban. Datanglah dengan langkah pelan, tas yang tidak terlalu penuh, dan hati yang siap mendengarkan. Biarkan desa dan pegunungan melakukan sisanya.
